Rabu, 19 November 2014

Impulsive travelling to Sawarna Beach

Batu Layar, salah satu icon Sawarna

Kamis, H-1

Impulsive travelling kali ini berhasil membawa saya ke Desa Sawarna, sebuah surga tersembunyi di balik gunung di Kecamatan Bayah Kabupaten Rangkasbitung Provinsi Banten, yang menawarkan keindahan alam bagi para pengunjungnya. Sebenarnya saya sudah tertarik untuk berkunjung ke Sawarna sejak tahun 2012 bersama dengan sahabat saya, namun selalu gagal dikarenakan berbagai alasan. Akhirnya di penghujung Tahun 2013 saya bisa pergi mengunjungi tempat ini tanpa perencanaan jauh-jauh hari, karena idenya sendiri baru muncul H-1 ketika cuti saya disetujui kantor! 

Persiapan yang hanya sehari ini saya pergunakan untuk mencari informasi mengenai rute perjalanan, homestay, spot yang wajib dikunjungi, dan lainnya terkait Sawarna. Yess, internet help me alot. Saya juga mengontak orang-orang yang pernah berbagi tentang Sawarna melalui berbagai sosial media. 

Saat itu minggu terakhir jelang tahun baru, beberapa homestay yang saya hubungi sudah penuh. Atau sekalipun ada yang masih tersedia, mereka memberi harga yang mahal. Lalu saya teringat dengan teman SMA saya yang pernah memposting fotonya ketika berlibur di Sawarna di salah satu akun media sosialnya. Ya, saya mengontak dia dan memperoleh informasi mengenai Homestay Widi yang pernah dia gunakan ketika sedang touring motor beberapa tahun lalu. Kemudian saya menghubungi nomor telepon homestay tersebut, dan saya beruntung masih ada kamar yang tersedia. Hanya saja kamarnya ada di dalam rumah, menyatu dengan pemilik homestay. Tak masalah, yang penting ada tempat untuk tidur nanti di sana. Tak lupa saya pun segera memesan tiket kereta Bogor-Sukabumi lewat telepon. Dan saya sangat beruntung, tiket kereta masih tersedia!


Jumat, hari pertama

Pagi-pagi sekali saya sudah bangun dan kemudian bersiap menuju Stasiun Paledang di Bogor. Pagi itu saya menggunakan jasa Kereta Api Bogor-Sukabumi kelas ekonomi pemberangkatan pertama dengan harga tiket Rp.20.000,- dan memakan waktu tempuh sekitar 1,5 jam untuk sampai di Stasiun Cibadak. 

Kereta Bogor Sukabumi ini masih terbatas, hanya 3x balik dalam sehari dan di saat akhir pekan, tiketnya sering habis terjual. Yah, Bogor-Sukabumi adalah jalur macet, sehingga orang berebut jasa kereta demi mempersingkat waktu. Jadi, ada baiknya jika ingin mempergunakan jasa Kereta Api Bogor Sukabumi di akhir pekan, agar memesan tiket jauh-jauh hari (seminggu sebelumnya). Sepanjang perjalanan di kereta, saya disuguhi pemandangan pesawahan dan perkebunan. Sangat baik untuk mata saya yang selalu disuguhi pemandangan layar monitor di kantor, kepadatan dan polusi ibu kota setiap hari. 

Oh iya, di Kereta Bogor-Sukabumi ini jangan berharap ada pengumuman suara dari pengeras suara kereta yang memberitahu stasiun berikutnya stasiun apa atau kita akan memasuki stasiun apa. Di kereta ini kita harus banyak bertanya atau megingat-ingat urutan nama stasiun dan stasiun yang sudah kita lewati, untuk memastikan bahwa stasiun yang kita tuju tidak terlewati. Di dalam kereta hanya ada petugas berseragam biru dongker yang bolak balik dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Dia yang mengumumkan dengan teriakannya bahwa kita akan memasuki stasiun mana. Syukur-syukur ketika dia mengumumkan, dia ada di gerbong kita dan suaranya bisa kita dengar, kalau tidak maka kita akan terlewatkan informasi. Jadi, menyimpan catatan urutan stasiun di HP (di dalam kereta tidak ada informasi urutan stasiun) atau bertanya ke penduduk lokal yang sama-sama menumpang kereta bisa menjadi salah satu alternatif biar tidak kesasar. Ssstt.. penduduk lokal Sukabumi Baik-baik kok :).

Setibanya di Stasiun Cibadak, saya melanjutkan perjalanan dengan naik angkot warna ungu menuju pertigaan Cibadak-Sukabumi-Pelabuhan Ratu dengan ongkos Rp. 2.000,- dan waktu tempuh sekitar 5 menit. Sebenarnya bisa saja saya tidak naik angkot ungu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggu bis Bogor-Pelabuhan Ratu di depan stasiun Cibadak. Tapi saya memilih menunggu di pertigaan Cibadak karena di sana dilewati oleh 2 (dua) trayek, yaitu Bis Sukabumi-Pelabuhan Ratu dan Bis Bogor-Pelabuhan Ratu.

Dari pertigaan Cibadak, saya menumpang Bis Ekonomi dengan tarif Rp. 20.000,- yang memakan waktu tempuh sekitar 2 jam. Jalanan Cibadak-Pelabuhan Ratu berkelok-kelok dan terdapat banyak bagian jalan yang rusak. Disarankan agar tetap berpegangan ke bagian bis sepanjang perjalanan, karena walaupun jalannya berkelok dan rusak, sang sopir tetap mengendarai bis dengan kecepatan tinggi. Setelah sempat tertidur di bis dan beberapa kali kepala saya kejedot kaca jendela, saya pun tiba di Terminal Pelabuhan Ratu.

Sesampainya di Terminal Pelabuhan Ratu, saya tidak kuat lagi menahan hasrat buang air kecil. Dengan membayar jasa Rp.2.000,- akhirnya saya bisa lega membuang hajat tersebut. Saya menyempatkan makan siang di Terminal Pelabuhan Ratu dengan lauk Ikan Janggilus, lauk tanpa tulang khas sana. Saya membayar Rp. 15.000,- untuk makan siang  dengan ikan Janggilus, tumisan, dan es teh manis. 

Sebelum memutuskan makan di warung dekat tempat ngetem Elf, saya sudah nyarter tempat duduk di Elf Sinar Banten -satu-satunya Elf jurusan Pelabuhan Ratu-Sawarna- dengan menyimpan carrier saya di jok paling belakang. Sopir Elf Sinar Banten tersebut bernama Kang Icep, dengan nomor telepon 087721733250. Kita bisa janjian dengan Kang Icep kalau hendak ke Sawarna agar ditunggu di Terminal Pelabuhan Ratu. Itupun jika Elf kang Icep belum penuh. Karena kalau kita tidak naik Elf Sinar Banten yang langsung ke Sawarna, maka kita harus menggunakan ELf jurusan Bayah dan nyambung lagi naik ojek. Sebagai pertimbangan, medan ke Sawarna cukup berat,  kiri kanan jalan banyak jurang dan tanjakan serta turunannya yang sangat curam. sehingga kalau bukan orang asli situ yang membawa kendaraan, yah lumayan cukup mengkhawatirkan.

Sekitar jam 12 siang, Elf kang Icep mulai berjalan. agak terlambat sih, karena kang Icep menunggu tetangganya di Sawarna yang mau mudik dari Bandung. Dan ajaib, penumpang Elf kang Icep yang kebanyakan penduduk lokal Sawarna tidak ada yang marah-marah karena kang Icep ngetem lama demi seorang penumpang. Mereka sedemikian sabar dan tenggang rasa, sampai-sampai menunggu di dalam elf tanpa AC di bawah terik matahari pun mereka jalani tanpa amarah. Dan saya tertidur lagi, walaupun beberapa kali kepala saya kejedot kaca jendela atau besi pegangan di Elf.

Ada yang unik dengan Elf Kang Icep ini. Beberapa kali ia berhenti, turun dari kemudi, naik ke atas mobil untuk menurunkan kardus atau keresek yang isinya titipan belanjaan  tetangganya tersebut. Kemudian ia melanjutkan perjalanan lagi dan berhenti lagi untuk menurunkan belanjaan dari atas mobil. Ya, setiap hari kang Icep menerima titipan belanjaan dari tetangga yang ia lalui sepanjang perjalanan menuju Pelabuhan Ratu. Tetangganya memasukkan catatan dan uang belanja ke dalam kantong plastik transparan yang diikat. Tidak lupa disisipkan uang sebagai balas jasa untuk kang Icep. Nanti, setibanya di Terminal Pelabuhan Ratu, sambil menunggu calon penumpang, kang Icep pergi belanja membeli titipan para tetangganya itu. Dan semua titipan belanjaan itu ia antarkan ketika pulang menuju Sawarna. Sebuah kearifan lokal yang sudah sangat langka sekali. Kearifan lokal yang semoga masih bisa dilestarikan. Keren!

Setelah kurang lebih 2 jam, saya tiba di simpangan Sawarna. Tak lupa saya mampir ke Indomaret untuk membeli beberapa makanan dan minuman. Heheh ternyata ada Indomaret di sini, jadi pengunjung tidak usah khawatir dengan logistik. Yang tidak saya temukan adalah ATM, jadi disarankan untuk membawa uang cash yang cukup.

Selesai berbelanja di Indomaret, saya melanjutkan perjalanan dengan naik ojek dengan tarif Rp. 5.000,-. Sebenarnya jalan kaki juga lumayan dekat, tapi karena saya sudah lumayan capek, saya memutuskan menggunakan jasa ojek. Tak lupa saya membayar retribusi masuk Sawarna sebesar Rp. 5.000,- di jembatan masuk ke Sawarna. Tukang ojek mengantarkan saya ke Homestay Widi yang sudah saya pesan. 

Tarif di homestay Widi adalah Rp. 150.000,- per orang per malam dengan fasilitas ranjang + kasur, kipas angin, kamar mandi di luar, dan makan 3x. Makannya prasmanan, jadi pengunjung yang porsinya banyak alias gembul tidak usah khawatir kekurangan nasi. Homestay Widi juga menyediakan kamar AC dengan tarif Rp.200.000,- per orang per malam. Tapi sayang sekali saat itu kamar AC sudah penuh. Panas-panas di daerah pantai memang lebih nyaman kamar ber AC. Selain itu di Homestay Widi juga tersedia kamar dengan harga sewa Rp. 450.000,- per malam, dengan 2 kasur di lantai, kipas angin, kamar mandi di dalam, tanpa makan, dan muat sampai dengan 8 orang. Jangan khawatir dengan urusan makan, banyak penjual makanan di sekitar homestay.

Setelah sholat ashar, mandi dan tidur sebentar, saya berjalan kaki ke pantai untuk menikmati matahari terbenam di Tanjung Layar. jarak dari Homestay ke Tanjung Layar sekitar 1 km. Banyak wisatawan yang berjalan kaki menuju sana. ada juga beberapa ojek lokal menawarkan jasa mengantar ke Tanjung Layar. Kata orang yang pernah ke Thailand, Tanjung Layar ini mirip seperti James Bond Island. Saya menikmati matahari tenggelam di Tanjung Layar sambil minum air kelapa. Harganya hanya Rp.6.000,- per kelapa. Di warung tersebut saya ngobrol dengan pemuda lokal yang bernama Kang Encep yang menawarkan mengantarkan ke Goa Lalay. Akhirnya disepakati  tarif untuk mengantar ke Goa Lalay sebesar Rp. 50.000,- untuk ojeknya dan Rp. 50.000,- untuk jasa memandu.


Sunset di Sawarna

Sunset di Sawarna


Sabtu, hari kedua

Pagi harinya, saya dijemput Kang Encep dari Homestay Widi menuju Goa Lalay. Jalan menuju Goa Lalay merupakan pematang sawah dan beberapa jalan dari batu terjal. Saya juga melewati jembatan gantung yang melintasi sungai yang lumayan dalam. Di ujung jembatan, pengunjung diminta membayar retribusi sebesar Rp. 5.000,-.  Sekitar 20 meter sebelum mulut Goa, terdapat saung kecil tempat pengunjung mendaftarkan namanya jika ingin masuk Goa. Di saung kecil ini disediakan jasa penyewaan helm, lampu senter besar dan headlamp dengan tarif masing-masing Rp. 10.000,-. Di dekat saung pendaftaran tersebut juga terdapat warung-warung dan toilet umum.


Mulut Goa Lalay agak pendek. Untuk bisa masuk ke dalamnya saya harus merunduk. Di mulut goa, pengunjung disambut dengan aliran air dingin dan jernih yang berasal dari dalam goa. Bau pesing dari dalam goa sudah mulai tercium, ya, pesing dari kotoran kelelawar (Lalay). Ada ratusan atau mungkin ribuan kelelawar menggantung di langit-langit goa. Karenanya goa ini disebut Goa Lalay. beberapa stalaktit meneteskan air membasahi baju saya, semakin ke dalam suasananya semakin mistis. Energi yang berbeda mulai saya rasakan dan saya berusaha menjaga konsentrasi saya agar tidak terbawa oleh energi tersebut dengan terus mengobrol dengan pemandu lokal saya. Kedalaman sungai dalam goa bervariasi. Ada yang mencapai paha saya bagian atas (sekitar 90 cm). Sebagian besar dasar sungai berlumpur dan terdapat daratan di dalam goa yang sangat licin. Untungnya saya memakai sandal gunung bahan karet yang membantu melindungi kaki saya dari menginjak batuan tajam di dasar sungai dan membantu jalan di tanah yang licin. Saya bertemu dengan sekelompok anak remaja yang masuk ke goa tanpa helm dan bertelanjang kaki. Oh no, kenapa mereka tidak mementingkan keselamatan mereka. Just saying, no need answer! Setelah dirasa cukup, saya pun segera kembali ke homestay untuk mandi dan beristirahat.



Sore harinya saya hanya menghabiskan waktu di pantai sambil menikmati buah mangga lokal dari kebun petani setempat yang dijual di warung di pinggir pantai. Sambil menikmati mangga, tampak sekelompok anak muda yang datang untuk menginap di saung warung itu. Pemilik saung mengenakan tarif Rp. 20.000,- per orang per malam bagi mereka yang hendak menginap di saung tersebut. penginapan saung tersebut hanya difasilitasi tikar, bantal, dan terpal untuk menutupi bagian pinggir atas saung yang tertutup. Untuk MCK, mereka bisa menggunakan fasilitas toilet umum yang ada di sebelah warung dengan tarif tambahan tentunya. Sedangkan untuk makan dan minum, mereka bisa membeli di ibu pemilik warung sekaligus pemilik saung tersebut. Pemilik warung tersebut menjual beraneka minuman dingin dan panas, mie dan nasi serta makanan ringan lainnya. Hmmm, jika berkunjung dengan kelompok backpacker lainnya sepertinya menarik untuk menginap di saung tersebut ;)

Jembatan menuju Goa Lalay



Minggu, hari ketiga



Sekitar jam 5.30 saya check out dari homestay. Saya mengejar jadwal Elf Sinar Banten Kang Icep yang akan membawa saya ke Terminal Pelabuhan Ratu. Elf Kang Icep ini biasanya melewati jalan utama Sawarna jam  6 pagi. Setelah menyelesaikan pembayaran dan sarapan terakhir di Sawarna, saya pamit dan berjalan kaki menuju jalan utama Sawarna sambil menikmati sejuknya udara pagi dan hijaunya pesawahan. Ketika sampai di jalan utama Sawarna, terlihat 6 backpacker lain yang akan menuju ke Pelabuhan Ratu. Kami pun bersama-sama menuju Pelabuhan Ratu bersama-sama dengan penduduk setempat. Angin pagi yang sejuk membuat saya -the sleepyhead- tertidur lagi.



Sampai jumpa lagi Sawarna, terimakasih banyak atas pelajarannya. I'll come back some day!



***



Catatan:


Sawarna ini telah dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat. Beberapa homestay sudah menerapkan standar Sapta Pesona dalam pengelolaannya. Tarif harga retribusi, ojek dan sebagainya sudah distandarisasi dan dipajang di papan pengumuman. Jadi, siapapun wisatawannya baik yang bisa bahasa lokal ataupun yang tidak bisa bahasa lokal, tidak usah takut tertipu oleh tarif yang sering dipermainkan sebagaimana di tempat wisata lainnya. Sebuah respon cerdas dan positif dari pemerintah setempat. Selamat!


Rangkuman biaya perjalanan:
  • Kereta Ekonomi Bogor - Sukabumi: Rp. 20.000,-
  • Angkot ungu Stasiun Cibadak - Pertigaan Cibadak: Rp. 2.000,-
  • Bis Ekonomi Cibadak - Pelabuhan Ratu: Rp. 20.000,-
  • Toilet Umum: Rp. 2.000,-
  • Makan siang di Terminal Pelabuhan Ratu: Rp. 15.000,-
  • Elf Pelabuhan Ratu - Sawarna: Rp.25.000,-
  • Cemilan dan air mineral di Indomaret: Rp. 50.000,-
  • Retribusi masuk Perkampungan Sawarna: Rp. 5.000,-
  • Ojek Pertigaan Sawarna - Homestay: Rp. 5.000,-
  • Homestay 2 malam x Rp. 150.000,- : Rp. 300.000,-
  • Minum kelapa segar : Rp. 6.000,-
  • Ojek Homestay - Goa Lalay: Rp. 50.000,-
  • Guide lokal ke Goa Lalay: Rp. 50.000,-
  • Retribusi Goa Lalay: Rp. 5.000,-
  • Sewa senter, helm, dan headlamp: Rp. 30.000,-


Tips and Trik:
  1. Pesan tiket kereta pulang pergi jauh-jauh hari biar gak kehabisan.
  2. Bawa uang tunai secukupnya, jangan mengandalkan ATM.
  3. Kontak kang Isep untuk memudahkan perjalanan (apalagi kalau kalian single traveller).
  4. Untuk menekan biaya pengeluaran, bisa jalan rame-rame dengan sharing kamar yang harga sewanya Rp. 450.000,- per kamar (bisa muat 6 orang), atau bisa sekalian nyoba tidur di saung pinggir pantai dengan harga sewa Rp. 20.000,- per orang.

4 komentar:

  1. Bang, lokasi saung pinggir pantai itu di mana kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. di pantai di antara kampung penduduk dan batu layar

      Hapus
  2. mau tanya, dari pertigaan cibadak ada angkot yang jurusan ubrug ngga?

    BalasHapus
  3. Ada angkot yang warna putih kayaknya.. Maaf baru balas

    BalasHapus