Kamis, 11 Desember 2014

Kampung Berua Ramang-Ramang dan Batuan Karst Maros


Kampung Berua Ramang-Ramang

Sudah lama sekali saya tertarik untuk mengunjungi kedua tempat itu, ya, sejak teman kantor saya yang ditempatkan di Makasar memposting foto tersebut di salah satu akun media sosial. Akhirnya di April 2014 ini saya berkesempatan untuk mengunjungi tempat tersebut. Dengan berkendara sepeda motor selama sekitar 60 menit dari Makasar, saya dan 7 teman saya (2 sudah saya kenal sebelumnya, dan 5 baru kenal di sana yang merupakan temannya teman saya). Motor kami titip parkir di warung pinggir jalan dekat jembatan Dermaga Ramang-Ramang. Kami sempat membeli perbekalan di warung tersebut sekalian biar kami tidak malu menumpang parkir motor di warungnya.

Dermaga Ramang-Ramang tampak dari sungai

Saat itu tengah hari, hanya ada rombongan saya dan 1 rombongan lainnya yang sepertinya dijemput dari salah satu hotel di Makasar (terlihat dari sandal hotel yang mereka pakai). Sambil menunggu antrian Perahu di Dermaga ini, saya makan siang dengan membeli jeruk bali berwarna merah seharga 6 ribu, sedangkan teman saya membeli nasi bungkus dengan harga Rp. 3.500,-. Kami juga membeli beberapa botol air mineral dengan harga yang masih terhitung murah (3 ribu per 600 ml).

 Perahu yang kami tumpangi


Setelah perahu yang kami tunggu tiba, teman saya yang sudah bertugas di Makasar selama 6 tahun dan sudah fasih beberapa bahasa lokal di sana, melakukan tawar menawar. Harga yang disepakati untuk menyewa perahu menuju Kampung Berua dan kembali lagi ke Dermaga Ramang-Ramang adalah 175 ribu (sebelumnya si pemilik perahu menawarkan 225 ribu). Perahu tersebut muat untuk 9 orang (tapi agak deg-degan juga takut overload). Di sepanjang perjalanan menuju Kampung Berua, kami disuguhi pemandangan manakjubkan dengan sisi kiri kanan pohon nipah dan batuan karst.


Pemandangan Nipah menuju Kampung Berua Ramang-Ramang



Tiba di Kampung Berua, saya seperti benar-benar melihat surga yang tersembunyi. Kampung Berua hanya memiliki 11 Kepala Keluarga, terlihat dari jumlah rumah yang sempat saya hitung. Perkampungan ini berupa pesawahan yang dikelilingi oleh pegunungan karst yang kokoh menjulang. Kami menumpang sholat dzuhur di salah satu rumah warga, kebetulan ada rombongan TV Swasta Nasional yang akan meliput Kampung tersebut. Warga Kampung Berua sangat ramah, mereka mempersilahkan kami untuk wudhu, sholat dan istirahat di rumahnya. Setelah sholat, kami merebahkan diri beristirahat di teras rumah panggung milik warga tersebut dengan menikmati semilir angin. Terlihat beberapa warga sedang memanen padinya.

Rumah Penduduk Kampung Berua Ramang-Ramang

Rumah Penduduk di Pinggir sungai menujua Kampung Berua Ramang-Ramang

Penduduk Kampung Berua Ramang-Ramang memanen padi

Melihat lokasi yang terisolasi ini, saya merasa bersyukur karena tinggal di tempat yang aksesnya mudah. Bayangkan, untuk membeli kebutuhan pokok seperti minyak dan lainnya, warga harus mempertaruhkan nyawa dengan menggunakan perahu menuju Dermaga Ramang-Ramang dan merupakan akses ke kota, berapa banyak waktu yang mereka pakai hanya untuk membeli sembako! Belum lagi kalau mereka membeli lemari dan kursi (saya lihat pemilik rumah ini memiliki kedua barang tersebut), sudah pasti sangat repot sekali mengangkut lemari dan kursi dalam sebuah perahu.

Saya agak menyesal karena tidak membawa apa-apa untuk para warga di sini, mungkin kalau saja saya mesebelumnya mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat di sini, saya bisa membawakan mereka barang-barang kebutuhan sehari-hari yang susah mereka peroleh, minimal bisa membawakan mereka kecap atau minyak goreng atau lainnya yang ringan, dan tidak mungkin diproduksi sendiri oleh warga tersebut di Kampung Berua.

Ketika menumpang wudhu di kolong rumah panggung warga tersebut, saya melihat ada banyak telur bebek dari hasil ternak mereka dan kami memutuskan untuk membeli telur bebek tersebut walaupun bingung itu telur untuk apa dan siapa. Untungnya salah satu dari kami merupakan mahasiswa di Makasar, mau membawa telur tersebut ke rumahnya. Well, 20 telor sudah ditaruh di dalam kardus dan siap kami bawa ketika kami pulang.

Telur bebek milik penduduk di sawah


Setelah selesai istirahat sholat dan makan perbekalan, kami mohon ijin untuk berjalan-jalan di sekitar pesawahan dan berfoto-foto di sana. Kemudian setelah jam menunjukkan saatnya kami pulang dengan dijemput perahu yang sama, kami pun pamit kepada warga sekaligus mengambil telur tersebut.
Oleh-oleh telur bebek yang dibeli dari penduduk



Batuan Karst Maros

Tiba di Dermaga, kami melanjutkan perjalanan menuju Batuan Karst. Again, kami menitip parkir motor di rumah warga di sekitar Kasrt. Kami sempat berpapasan dengan 3 orang backpacker yang baru saja turun. sepertinya mereka sudah melakukan perjalanan lebih dari 2 hari, terlihat dari pakaiannya yang kotor dan wajahnya yang sudah mulai gosong.

Saya semakin takjub dengan pemandangan yang Tuhan ciptakan ini. dari kejauhan, batuan ini terlihat rata dan mulus, tetapi begitu dekat dan mulai memanjat, ia memperlihatkan kekokohan dan ketajamannya. Tangan saya langsung sakit dan lecet tergores karang, pantat tertusuk karena saya hanya memakai celana lapangan tipis dan tidak mempersiapkan perlengkapan memanjat seperti sarung tangan, tali dan sebagainya. Tapi untungnya kaki saya masih terlindungi karena saya memakai sandal gunung. Lain halnya dengan teman saya yang sudah sering ke sini, sebut saja namanya Farid, walaupun perempuan tapi dia sangat lincah dan dengan kaki telanjang memanjat bebatuan tersebut.

Farid memanjat tanpa alas kaki



Untuk memanjat bebatuan tersebut, saya harus menyeberang sawah terlebih dahulu. kadang saya masih bisa meloncati sawah atau lumpur yang tidak ada pematangnya. tapi sering juga saya harus menginjak lumpur sampai mata kaki untuk mencapai bebatuan tersebut. Ya, batuan Karst tersebut kokoh berdiri di tengah pesawahan.

Batuan Karst Maros



Setelah mencoba beberapa batuan dan saya gagal tidak sampai ke puncak karena tidak bisa menemukan alur memanjat yang bisa saya lewati. Saya mencoba karang yang lain atau memutar lewat jalur lain. Akhirnya saya berhasil naik ke puncak salah satu batuan yang dari atasnya saya bisa melihat pemandangan yang menakjubkan, yang membuat saya semakin merasa tidak ada apa-apanya di dunia ini. 

Saya dan Farid

Di salah satu puncak


Setelah merasa cukup, kami turun dari karang dan melanjutkan perjalanan pulang, karena besoknya kami masih akan melakukan perjalanan ke Bulukumba, hamparan pasir putih yang menanti kami.


Rincian harga/ tarif diluar tiket pesawat dan penginapan:
Bensin motor Makasar-Maros PP  : Rp. 40.000,-  per motor
Sewa perahu                                   : Rp. 175.000,- per perahu PP
Jajan Jeruk Bali                              : Rp. 6.000,-  per butir
Nasi bungkus                                  : Rp. 3.500,- per bungkus
Air mineral                                     : Rp. 3.000,- per 600 ml    
Telur bebek                                    : Rp. 1.500,- per butir

  
Catatan:
Tempat wisata ini belum dikomersilkan, dan belum dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat. jadi pengunjung sama sekali tidak kena retribusi. Ada baiknya kita membawa  oleh-oleh kecil untuk warga di sana seperti makanan kecil atau susu untuk anak-anak di sana, atau sembako yang tidak bisa diproduksi warga seperti minyak dll.


Makasar, April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar